Masa dimana membuat saya merasa khawatir, bukan Ketika mahkamah konstitusi (MK) membacakan keputusannya terkait perubahan minimum usia calon wakil presiden (Cawapres)-bukan pula saat Gibran “anak presiden” menjadi calon wakil presiden. Tetapi sudut pandang yang berbeda, yang saya lihat dari sosok seorang Prabowo.
Baca Lainnya : Hilang HP Dimasjid Kampus..
Nyatanya mereka adalah orang-orang terpilih untuk kemudian dipilih oleh rakyat, seandainya yang menang tahun 2024 itu bukan prabowo tetapi anis akankah dia menambah porsi lapangan pekerjaan dan mewujudkan upah berkeadilan. Bukan Prabowo,bukan pula Anis namun Ganjar yang menang mau kah dia mengabulakan janjinya?. Janji tentang satu keluarga satu sarjana.
Baca selengkapnya : Vakum tiga tahun, Masjid Batun Gelar....
Jika kita Kembali mengkaji visi misi dan janji calon pemimpin, tentunya hal itu tak perlu diragukan lagi sebab saya percaya bahwa Ketika kandidat menyatakan dirinya siap maju sebagai calon presiden. Pastilah sudah menyiapkan semua tim dari berbagai bidang “tim hukum, tim kampanye,tim media social,tim keuangan dan lain-lain”.
Oleh sebab itu, pemilu tahun 2024 silam menjadi pengajaran bagi saya,bagi anda dan bagi kita semua bahwa visi misi yang paling baik adalah janji yang mudah untuk dibayar. Artinya apapun yang dikampanyekan tetaplah kita berpegang pada ajaran agama,Pancasila dan keyakinan . Misalnya, program makan siang gratis yang dicanangkan oleh prabowo Gibran yang mengeluarkan anggaran Rp.10.000 per siswa .
Namun, apakah janji-janji ini cukup untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik? Pertanyaan ini menjadi lebih mendesak ketika kita mengamati bagaimana retorika politik sering kali berubah menjadi alat untuk memanipulasi harapan rakyat.
Prabowo bukanlah raja, Prabowo bukanlah tuhan. Ia hanyalah manusia dengan segala keterbatasan, sama seperti para pesaingnya, Anies maupun Ganjar. Sayangnya, pemilu sering kali menjadi ajang teatrikal di mana para kandidat berlomba-lomba menjual mimpi besar tanpa kepastian realisasi. Apakah program makan siang gratis dengan anggaran Rp10.000 per siswa benar-benar menjadi solusi, ataukah itu sekadar gula-gula politik yang tidak menyentuh akar permasalahan pendidikan kita?
Program populis semacam ini sering kali hanya menjadi alat pencitraan tanpa dampak jangka panjang. Bukannya memberdayakan, rakyat malah dibuat bergantung pada bantuan-bantuan instan. Padahal, yang benar-benar dibutuhkan adalah kebijakan yang memberdayakan rakyat untuk mandiri, seperti pembenahan sistem pendidikan, pelatihan vokasi yang relevan dengan kebutuhan industri, serta reformasi struktural yang berani.
Di sisi lain, pemilu 2024 juga membuka mata kita akan sebuah fenomena baru: dinasti politik yang semakin menguat. Ketika Gibran, anak presiden, menjadi calon wakil presiden, kita tidak hanya berbicara tentang kapasitas individu, tetapi juga tentang bagaimana politik Indonesia semakin menyerupai oligarki. Pertanyaannya, apakah rakyat masih memiliki ruang untuk mengontrol kekuasaan, atau kita justru sedang melangkah mundur ke era feodalisme baru yang dibungkus demokrasi?
Pemilu seharusnya menjadi ajang untuk memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan, bukan sekadar mempertahankan status quo. Kita harus berani kritis terhadap semua kandidat, termasuk Prabowo, Anies, dan Ganjar. Tidak ada tempat untuk fanatisme buta dalam demokrasi. Jika janji yang diberikan hanya indah di atas kertas, maka kita, sebagai rakyat, harus berani mempertanyakan dan menuntut akuntabilitas.
Prabowo bukanlah raja, dan pemimpin mana pun yang terpilih bukanlah penguasa absolut. Mereka adalah pelayan rakyat yang tugas utamanya adalah bekerja untuk kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi atau golongan. Pemilu 2024 harus menjadi momen refleksi bagi kita semua: apakah kita memilih pemimpin karena substansi, atau hanya karena ilusi?
tags, #prabowo,presiden
1 komentar so far
waw
EmoticonEmoticon